Saat Mesin Menggilas Tradisi, Perajin Tenun Gresik Tetap Setia pada Tenun Tangan

CERME, iNewsGresik.id – Di sudut Desa Kambingan, Kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik, suara ritmis alat tenun tradisional masih menggema. Suara itu berasal dari bangunan sederhana di samping rumah Kasturi (70), sosok pria tangguh yang telah mendedikasikan hidupnya lebih dari tiga dekade demi melestarikan tradisi tenun ikat.
Sejak tahun 1989, Kasturi memilih jalan mandiri. Ia meninggalkan pekerjaannya di pabrik tenun terbesar di Gresik dan memulai usaha rumahan dengan mengandalkan keterampilan serta alat tenun tradisional yang dimilikinya. Dengan tekad kuat, ia menggandeng 30 penenun lokal—sebagian besar perempuan lansia—untuk bersama-sama menggerakkan roda produksi.
“Awal usaha memang berat, tapi saya tak ingin terus bergantung. Saya ingin tenun ini menjadi milik kami sendiri,” ujar Kasturi sambil menatap hasil tenun yang baru selesai, Selasa (12/5).
Usahanya sempat mencapai masa keemasan pada era reformasi 1998. Sarung tenun produksinya diminati hingga ke Arab Saudi dan Somalia. Namun, kejayaan itu perlahan memudar, apalagi saat pandemi COVID-19 melanda. Permintaan anjlok drastis, sementara harga bahan baku—terutama sutra—melambung hingga Rp 5,3 juta per 5 kilogram.
“Kami tetap bertahan agar sarung tenun tradisional ini tidak punah,” ujarnya.
Kini, produksi Kasturi hanya menyasar pasar lokal seperti Surabaya, Jember, dan beberapa kota di Jawa Timur. Dalam sebulan, ia bersama timnya mampu memproduksi sekitar 60 potong kain tenun. Tenun jenis goyor dijual mulai Rp 175 ribu, sedangkan jenis es lilin berbahan sutra dihargai hingga Rp 300 ribu.
Namun tantangan bukan hanya soal pasar. Minimnya regenerasi menjadi masalah serius. Generasi muda tak tertarik melanjutkan tradisi ini.
“Anak-anak muda lebih memilih kerja di pabrik. Gajinya pasti, jam kerjanya jelas,” keluh Kasturi. Saat ini, sebagian besar tenaga kerjanya adalah lansia yang kerap absen karena hajatan, panen, atau mengasuh cucu.
Pemasaran pun masih dilakukan secara konvensional—mengandalkan relasi, promosi dari mulut ke mulut, dan nomor ponsel. “Kami belum bisa masuk ke pasar online. Tidak ada yang bantu,” tambahnya.
Meski dihadapkan pada tantangan zaman dan modernisasi, Kasturi tak pernah menyerah. Ia tetap setia menenun dengan tangan. Bagi Kasturi, ini bukan sekadar pekerjaan, melainkan bentuk kecintaan pada warisan leluhur yang tak boleh sirna.
“Selama saya masih sanggup, saya akan terus menenun. Ini adalah hidup saya,” pungkasnya
Editor : Agus Ismanto