GRESIK, iNews.id – Pernikahan dini dinilai menjadi salah satu penyebab tingginya angka perceraian di Kabupaten Gresik. Berdasarkan data dari Layanan Ruang Posbakum Pengadilan Agama Gresik sepanjang tahun 2022, angka perceraian mencapai 3.147 perkara.
Pelaksana Tugas (Plt) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A) Kab. Gresik dr Ummi Khoiroh mengatakan pernikahan yang dilakukan sebelum usia 21 tahun memang rentan perceraian.
"Memang benar, pernikahan usia dini menjadi salah satu penyebab terjadinya perceraian. Kami selalu menekankan bahwa menikah harus terencana, bukan karena bencana," ujar Ummi Khoiroh dalam Diskusi bertajuk ‘Fenomena Nikah Usia Dini di Kota Santri’ yang digagas Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah (PCPM) Manyar di Kedai Adarina GKB, Kamis (26/1/2023).
Diskusi merawat akal sehat ini, menghadirkan nara sumber Anggota Komisi X DPR RI Prof. Zainuddin Maliki, Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Gresik Rakhmat Hidayat, Plt. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A) Kabupaten Gresik dr. Ummi Khoiroh, Akademisi Abd. Sidiq Notonegoro dan moderator Nabila Eka Agustin Siswi SMA Muhammadiyah 10 GKB Gresik.
Ummi Khoiroh menambahkan sebelum usia 21 tahun, mental remaja belum sepenuhnya siap menikah. Pasalnya, di usia tersebut proses pembelajaran remaja menjadi individu dewasa belum tuntas. Keinginan untuk belajar dan mencari jati diri masih berpengaruh kuat pada diri remaja.
"Dari sisi fisik, sistem reproduksi remaja perempuan belum sepenuhnya matang. Menikah di usia dini berisiko kelahiran prematur, angka kematian ibu serta bayi pun tinggi," ingatnya.
Karena itu, lanjutnya, ia menyarankan remaja agar menghindari pernikahan sebelum usia 21 tahun. Remaja juga diminta memahami informasi tentang kesehatan reproduksi untuk menghindari seks bebas. Menurutnya, pernikahan dini yang diikuti perceraian berpengaruh buruk bagi anak yang dilahirkan.
"Sebab, anak-anak yang lahir dari kondisi tersebut cenderung mendapat pola pengasuhan yang tidak kondusif," terangnya.
Lebih Jauh Ummi Khoiroh mengungkapkan angka pernikahan dini di Gresik tergolong tinggi. Secara kasuistik tercatat sebanyak 70 sampai 80 persen dari 258 kasus pada tahun 2022 disebabkan Lamaran Kari Meteng Disek (LKMD). Menurutnya, pernikahan dini cenderung dilakukan oleh pasangan yang sebetulnya belum siap dari sisi kematangan mental dan masih labil. Apalagi,tren anak muda saat ini kurang memiliki sikap kemandirian.
"Kalaupun bisa, ya, seadanya dan itu memicu keretakan rumah tangga," terangnya.
Ketua PC Pemuda Muhammadiyah Manyar Gresik, Rosyidul Arifibillah mengatakan tingginya angka pernikahan dini atau pernikahan di bawah usia 21 tahun ditengarai berkorelasi dengan tingginya tingkat perceraian. Menurutnya, degradasi moral mempengaruhi keimanan dan akhlak.
“Ada emosional yang larut dalam fenomena tidak lazim ini, maka dari kita kulik makna kecelakaan sendiri, bagaimana bisa disebut kecelakaan jika dilakukan secara sadar namun tidak mau menanggung resiko. Kita memiliki andil menekan angka serta mengatasi fenomena nikah dini dari berbagai komposisi,” katanya.
Menurut dia, pernikahan dini sangat tidak dianjurkan mengingat banyak hal yang dinilai belum disiapkan, baik dari segi ekonomi, psikis, dan kesiapan mental. Remaja yang menikah pada usia dini belum siap mental, sehingga kata cerai kerap menjadi jalan keluar saat pertengkaran terjadi.
"Oleh karena itu, pernikahan usia dini, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka perceraian," terangnya.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR RI, Prof Dr Zainuddin Maliki mengungkapkan lembaga pendidikan yang hanya fokus mencetak tenaga kerja sesuai pasar mempengaruhi pembangunan akhlak dan budi pekerti. Karena itu, dibutuhkan keseimbangan antara gaya berfikir, pendidikan, akhlak dan budi pekerti untuk mewujudkan manusia seutuhnya.
“Apabila terjadi kesenjangan, akan memunculkan bahaya yaitu terjadinya deprivasi progresif. Mereka yang mengalaminya cenderung mudah terganggu jiwanya, sehingga timbul pikiran untuk menikah dini. Karena mereka berada pada ketidakseimbangan jiwa,” tuturnya.
Di era digital, lanjtnya, faktor media juga mempengaruhi pola pikir dalam melihat hubungan lawan jenis. Serta contoh adab yang kurang tepat diimplementasikan. “Kita perlu membangun kecerdasan digitalisasi. Membumikan islam yang sesuai dengan ajarannya,” pungkasnya.
Editor : Agus Ismanto